Rasanya tidak berlebihan bila menyebut AC Milan sebagai salah satu klub elit di dunia. Sejak didirikan oleh Herbet Kilpin pada 16 Desember 1889, sebanyak 49 trofi telah dimenangkan klub berjuluk “I Rossoneri” alias “Si Merah Hitam” itu.
Dari 49 trofi yang terpajang di Mondo Milan Museum, sebanyak 29 di antaranya diraih AC Milan saat mereka dipimpin oleh sosok yang tak hanya kharismatik, tetapi juga kontroversial. Sosok yang dimaksud adalah Silvio Berlusconi.
Berlusconi adalah tokoh vital yang berhasil mengubah sejarah AC Milan. Dari sebuah klub bersejarah yang nyaris bangkrut hingga kini dikenal sebagai salah satu klub tersukses di dunia dengan koleksi 7 trofi UCL-nya yang belum bisa disamai klub Italia lainnya.
Jadi, bagaimana kisah Silvio Berlusconi mengubah sejarah AC Milan? Berikut cerita selengkapnya.
Silvio Berlusconi Datang, AC Milan Tidak Jadi Bangkrut
Kisah dimulai di awal era 1980an. Periode tersebut bisa dibilang sebagai salah satu masa terkelam dalam sejarah AC Milan. Di periode tersebut, Milan dua kali terdegradasi ke Serie B.
Degradasi pertama terjadi karena skandal totonero, sebuah skandal perjudian dan pengaturan skor yang melibatkan 2 klub Serie B dan 5 klub Serie A, dan salah satunya pelakunya adalah petinggi AC Milan. Rossoneri kemudian dihukum turun kasta ke Serie B untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Meski langsung promosi kembali di tahun 1981, tetapi Milan terdegradasi kembali ke Serie B untuk kedua kalinya dalam sejarah di tahun berikutnya dan kembali lagi ke Serie A di tahun 1983. Setelah itu, Milan mampu bertahan lama di kasta teratas Liga Italia, tetapi mereka tak lagi berprestasi dan mengalami krisis finansial paling dahsyat dalam sejarah yang membuat klub terancam bangkrut.
Kondisi itulah yang kemudian memicu Silvio Berlusconi untuk membeli AC Milan. Pebisnis asli kota Milan yang merupakan pemilik perusahaan Fininvest dan Mediaset itu mengambil alih kepemilikan Rossoneri pada 20 Februari 1986.
Keputusan yang kelak mengubah sejarah AC Milan itu diambil setelah Silvio Berlusconi diyakinkan oleh 3 koleganya, yakni Fedele Confalonieri, Paolo Berlusconi, dan Adriano Galliani. Meskipun ada banyak keraguan, utang yang menggunung, dan banyaknya kejanggalan pada neraca keuangan klub, Silvio Berlusconi bersedia menyelamatkan nyawa AC Milan.
Alasannya sederhana; Silvio Berlusconi memang sangat mencintai AC Milan. Lahir pada 29 September 1936, Berlusconi sudah dibesarkan sebagai pendukung Rossoneri sejak kecil. Dan memang sudah sejak dulu keluarga Berlusconi terkenal sebagai penggemar sejati AC Milan.
Karena kecintaan dan rasa sayangnya yang besar itulah, maka Silvio Berlusconi juga membesarkan AC Milan layaknya anak sendiri. Setelah melunasi semua utang-utang Milan di masa lalu, Berlusconi kemudian menyuntikkan dana yang sangat besar untuk mewujudkan ambisinya bersama AC Milan.
Ambisi Silvio Berlusconi di AC Milan
Era baru AC Milan bersama Silvio Berlusconi dimulai dengan sangat epik dan glamor. Pada Juni 1986, Silvio Berlusconi dan para pemain AC Milan datang ke hadapan 10 ribu penggemar yang memadati stadion Arena Civica, dengan tiga buah helikopter Apache sambil diiringi dengan lagu “Ride of the Valkyries” karya Richard Wagner.
“Kami ingin membangun sebuah tim yang teruji dari waktu ke waktu, sebuah tim yang dapat kembali dengan gaya, dengan kelas, dan dengan sepenuh jiwa menuju puncak persaingan nasional dan internasional untuk mengembalikan tradisi AC Milan dan memberikan apa yang menjadi keinginan para penggemar Rossoneri.”
Visi dan misi dari Silvio Berlusconi sangat jelas. Ia ingin AC Milan bisa dinikmati setiap kalangan. Menjadi klub sepak bola berkelas nan elegan. Namun, yang lebih penting lagi, Rossoneri mampu memenangkan segalanya, menjadi juara di Italia, Eropa, bahkan dunia.
Langkah pertama yang ditempuh Silvio Berlusconi untuk mewujudkan ambisi tersebut adalah dengan merenovasi kompleks latihan Milanello. Dengan dana melimpah, ia menjadikan Milanello sebagai kompleks latihan paling modern di Italia bahkan Eropa saat itu.
Sebagai sosok yang glamor dan flamboyan, Silvio Berlusconi juga tak ingin sekadar mengembalikan tradisi juara AC Milan. Menang saja tak cukup baginya. Ia menginginkan agar AC Milan bermain menyerang dan mendominasi, sebuah ambisi yang sangat revolusioner pada zaman itu. Maka kemudian datanglah sosok Arrigo Sacchi di musim 1987/1988.
Apa yang dianut Silvio Berlusconi pada saat itu sangat kontras dengan budaya sepak bola Italia yang identik dengan catenaccio. Begitu pula sosok Arrigo Sacchi, sosok yang begitu diremehkan sebab ingin menerapkan taktik menyerang dengan garis pertahanan tinggi di tim yang sudah sangat kental dengan taktik bertahan. Namun, dari situlah sejarah AC Milan berubah.
Masa-masa Kejayaan AC Milan
Arrigo Sacchi dibekali skuad yang mentereng. Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Carlo Ancelotti didatangkan Silvio Berlusconi di musim pertama Sacchi. Di musim keduanya, datang Frank Rijkaard yang melengkapi skuad mentereng Rossoneri yang sudah diisi pemain timnas Italia semacam Giovanni Galli, Paolo Maldini, Franco Baresi, Alessandro Costacurta, dan Roberto Donadoni.
Maka terciptalah “Dream Team AC Milan” yang hingga hari ini dikenal sebagai salah satu starting eleven terbaik dalam sejarah sepak bola. Sepanjang era Arrigo Sacchi, Milan sukses memenangkan 1 gelar scudetto, 1 gelar Supercoppa, 2 trofi Liga Champions Eropa, 2 trofi Piala Super Eropa, dan 2 trofi Piala Interkontinental.
Setelah era Arrigo Sacchi berakhir, AC Milan kembali meraih kejayaannya ketika Silvio Berlusconi menunjuk Fabio Capello sebagai juru latih anyar. Di musim pertamanya, tepatnya pada musim 1991/1992, AC Milan mendapat julukan “Gli Invincibili” setelah Capello berhasil mengantar Milan menjadi juara Italia dengan rekor unbeaten selama 58 pertandingan.
Di era Fabio Capello, Milan juga berhasil menciptakan salah satu pertandingan terbaik dalam sejarah Liga Champions Eropa. Pada 1994, Milan asuhan Capello berhasil mengancurkan kesombongan Johan Cruyff dengan membantai Barcelona 4 gol tanpa balas.
Dengan rekrutan anyar seperti Zvonimir Boban, Dejan Savicevic, Daniele Massaro dan Marco Simone, Fabio Capello berhasil mempersembahkan 4 gelar scudetto, 2 gelar Supercoppa, 1 trofi Liga Champions Eropa, dan 1 trofi Piala Super Eropa.
Sempat mengalami kemunduran di akhir era 90an, Silvio Berlusconi kemudian dengan berani menunjuk Carlo Ancelotti sebagai pelatih baru Milan di tahun 2001. Di masa itu, Berlusconi yang belajar dari kasus cedera kambuhan Fernando Redondo juga mendirikan Milan Lab. Maka terciptalah era kejayaan baru AC Milan.
Dengan skuad yang berisikan pemain-pemain seperti Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Andriy Shevchenko, Filippo Inzaghi, Gennaro Gattuso, Andrea Pirlo, Dida, Cafu, Serginho, Kakha Kaladze, Rui Costa, hingga Clarence Seedorf dan Ricardo Kaka, Milan sekali lagi mendominasi Italia dan Eropa.
Di bawah asuhan Carlo Ancelotti, Milan berhasil meraih 1 scudetto dan 1 Coppa Italia, 2 Piala Super Eropa, 1 Piala Dunia Antarklub, dan tentu saja dua trofi Liga Champions Eropa di tahun 2003 dan 2007.
Setelah balas dendam yang bersejarah di final Liga Champions 2007, AC Milan sekali lagi mengalami kemunduran sebelum akhirnya meraih Scudetto ke-18 dan 1 trofi Piala Super Italia di era Massimiliano Allegri di tahun 2011.
Banter Era dan Akhir Kepemilikan Silvio Berlusconi
Setelah pengabdian Allegri berakhir, AC Milan memasuki sebuah era terburuk bagi klub sepak bola yang lazim disebut sebagai “Banter Era”. Kekayaan Silvio Berlusconi menurun. Suntikan dana ke AC Milan menjadi berkurang. Puncaknya, Milan kembali mengalami kesulitan finansial.
Meski sempat meraih Piala Supercoppa 2016 di bawah asuhan Vincenzo Montella, tetapi AC Milan mengalami periode terburuknya di masa kepemilikan Berlusconi. Di 3 musim terakhirnya, Milan hanya finish di posisi kedelapan, kesepuluh, dan ketujuh di Serie A, serta gagal lolos ke Liga Champions Eropa.
Selain itu, para pemain bintang mulai meninggalkan AC Milan. Sementara San Siro makin hari makin sepi dari kehadiran fans Rossoneri.
Akhirnya, setelah berkuasa selama 31 tahun, pada 13 April 2017, Silvio Berlusconi menjual AC Milan yang sangat ia cintai itu kepada pengusaha Tiongkok, Yonghong Li dan David Han Li seharga €740 juta. Momen tersebut secara resmi mengakhiri era kepemimpinan Silvio Berlsuconi di AC Milan.
Warisan-Warisan Silvio Berlusconi
Kisah antara Silvio Berlusconi dan AC Milan memang tak berakhir manis. Sosok yang dulu menjadi juru selamat Milan itu justru sempat diusir oleh para pendukungnya sendiri.
Silvio Berlusconi memang sosok yang penuh dengan kontroversi. Ada dugaan ia menjadikan AC Milan sebagai gerbong menuju dunia politik. Seperti yang kita tahu, Berlusconi adalah mantan perdana menteri Italia. Saat melaksanakan tugas negara tersebut, ia bisa meninggalkan Milan selama berbulan-bulan, bahkan setahun penuh.
Akan tetapi, kecintaan Silvio Berlusconi kepada AC Milan tak pernah pudar. Ia pernah berkata kalau pekerjaannya sebagai politisi adalah urusan duniawi, tetapi AC Milan adalah masalah cinta dan sesuatu yang sakral.
Andrea Pirlo pernah bersaksi; begitu mendengar gemuruh helikopter di Milanello, api semangat langsung menyala di setiap pemain Milan. Kata Pirlo, “para pemain akan langsung mengerubungi Berlusconi, layaknya anak anjing menggemaskan yang rindu kepada tuannya.”
Meski ia kerap ikut campur urusan teknis, salah mengambil keputusan transfer pemain dan pelatih, tetapi Silvio Berlusconi adalah sosok yang sangat dekat dengan seluruh staff AC Milan, termasuk jajaran manajemen, pelatih, dan yang paling penting adalah pemain. Berlusconi bisa menghabiskan waktu berjam-jam lamanya untuk mengobrol empat mata dengan para pemainnya.
Rasa cinta yang besar itulah yang kemudian menjadi warisan Silvio Berlusconi di AC Milan. Harus diakui kalau banyak penggemar mulai jatuh cinta kepada AC Milan saat menyaksikan Milan era Berlusconi.
Terlepas dari segala kontroversinya, legacy Silvio Berlusconi di AC Milan sangatlah besar. Ia bukan sekadar presiden tersukses dalam sejarah Rossoneri, tetapi juga merupakan sosok terpenting yang sukses mengubah sejarah AC Milan dan menjadikan AC Milan menjadi salah satu klub elit tersukses di dunia hingga hari ini.
Tanpa investasi waktu dan uang yang ia berikan kepada klub, AC Milan tidak akan seperti sekarang ini. 29 trofi bergengsi dalam 31 tahun kepemimpinannya adalah bukti betapa besar pengorbanan Silvio Berlusconi terhadap AC Milan.
Rest in Peace, Silvio Berlusconi.
Referensi: AC Milan, Sempre Milan, Bleacher Report, AP News, These Football Times.